MAKNA KONOTATIF
Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi
dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah
kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu
sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif
maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang
sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.
Misalnya,
burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi
bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif
seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya itu
sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka
lambang yang tidak baik.
Makna konotasi sebuah kata dapat
berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang
lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok
masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya
mayoritas beragama islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut
menurut hukum islam adalah haram dan najis. Sedangkan di daerah-daerah yang
penduduknya mayoritas bukan islam seperti di pulau Bali atau pedalama Irian
Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.
Makna konotatif
dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini
berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya
positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi
netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
Contoh kalimat
konotatif:
- Para petugas
gabungan merazia kupu-kupu malam tadi malam (kupu-kupu malam = wts)
- Bu Marcella sangat sedih karena terjerat hutang lintah darat (lintah darat = rentenir)
- Bu Marcella sangat sedih karena terjerat hutang lintah darat (lintah darat = rentenir)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar