Nama : Zachra Meisela
Npm : 28210810
Kelas : 2EB19
HUKUM DI INDONESIA
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
BalasHapusSemoga kita semua selalu dalam Bimbingan, Lindungan dan mendapat Limpahan Rahmat, Hidayah serta InnayahNya aamiin..
Saya menulis artikel ini tujuannya untuk menceritakan apa yang sedang saya sebagai Penggugat alami selama + - 8 tahun menunggu hasil dari proses Hukum Perdata yang diproses melalui :
1. Pengadilan Negeri Cilacap, + - 2,5 tahun (Penggugat Menang)
2. Pengadilan Tinggi Semarang, + - 2,5 tahun (Penggugat Menang)
3. Mahkamah Agung , + - 3 tahun (Penggugat Menang)
Dengan tergugat Sdri Sari Saraswati Lukito.
Dari hasil putusan-putusan tersebut diatas, tergugat di Hukum untuk mengembalikan uang Penggugat sebesar Rp. 368.000.000 (Tiga ratus enam puluh delapan juta rupiah) dan sebagian tuntutan Penggugat seperti sita Jamin Rumah dan Mobil tergugat di Tolak oleh Pengadilan.
Saya yakin semua Pihak memahami apa maksud dan tujuan setiap Penggugat yang melakukan Gugatan Perdata dengan menempuh jalur Hukum melalui Pengadilan.
Jelas maksud dan tujuan setiap Penggugat tidak lain adalah ingin mendapatkan kembali Hak-Haknya yang telah diambil oleh Tergugat, akan tetapi sering terjadi Proses Hukum di Negeri yang kita cintai ini jauh dari yang diharapkan, salah satunya seperti yang saya alami.
Pengadilan tempat mengadili belum dapat memberikan Keadilan kepada yang diadili dan mungkin banyak yang mengalami seperti apa yang saya alami. Apa yang saya alami dalam proses Hukum Perdata jauh dari yang saya harapkan karena Putusan Menghukum Tergugat untuk mengembalikan uang Penggugat sebesar Rp. 368.000.000(Tiga ratus enam puluh delapan juta rupiah) hanyalah Kertas, Tulisan dan Angka dan Pembuat Putusan tidak dapat mempertanggungjawabkan untuk merealisasikan apa yang dibuatnya.
Berdasarkan logika dan anggapan saya sebagai Penggugat yang tidak memahami hukum, keputusan Hukum seperti ini adalah Keputusan Hukum yang Mandul, tidak ada kepastian dan ketetapan Hukum.
Agar tidak terjadi kemandulan, ada Kepastian dan Ketetapan Hukum Pembuat Putusan harusnya melakukan Proses Hukum sampai dengan Terealisasinya apa yang diputuskannya, Dengan dasar dan kekuasaan Hukum yang tetap dan dengan upaya Hukum lain akan mencapai tahap Realisasi sesuai apa yang di Hukumkan kepada Tergugat dan itulah tahap Pencapaian Keadilan.
Keputusan Hukum seperti ini ibarat, Penggugat diberi uang tetapi uangnya tidak dapat dibelanjakan / digunakan karena uangnya palsu.
Kenapa Hukum di Negeri ini seperti ini dan Siapa atau apa yang salah di dalam Hukum Kita??
Harapan saya semoga para Pembaca dan yang Ahli di dalam Hukum dapat membantu melengkapi atau menambahkan kalimat-kalimat sesuai maksud dan tujuan dan meneruskan kepada Instituti terkait agar Penerapan Hukum di Negeri ini tidak Mandul, ada kepastian dan ketetapan Hukum.
Cilacap, 27 Februari 2015
Penulis
Malik Bukar