Rabu, 02 Mei 2012

hak konsumen


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
            Hak konsumen merupakan orang yang mempergunakan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat . baik digunakan sendiri , keluarga ataupun orang lain.keberadaan konsumen sangat penting untuk suatu keberhasilan dalam usaha, baik dalam perusahaan ataupun se3perti warung-warung atau busaha lainnya.dari tangan konsumenlah kita mendapatkan pundi-pundi uang buah usaha kita atas barang atau jasa yang kita jual atau usahakan.
            Hak konsumen wajib diketahui oleh para pebisnis agar para pengusaha atau pebinis tidak semena-mena dalam memperlakukan konsumen. Jika para pebisnis tidak mematuhinya maka para pebisnis akan mendpatkan ganjarannya atau hukuman atas apa yang mereka lakukan terhadap konsumen.hukuman tersebut bisa sampai ke pengadilan dan yang lebih parah bisa sampai penutupan usaha tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Hak konsumen dalah hak yang harus di patuhi oleh para produsen, sedangkan Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
Di Indonesia UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
  • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
  • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
  • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
  • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
  • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
  • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan konsumen
Hak-Hak Konsumen tersebut antara lain :
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kesembilan hak konsumen tersebut yang makin perlu secara kontinu disosialisasikan kembali oleh pebisnis bersama media, YLKI, penegak hukum, pengacara, dan pengamat, terutama di daerah, agar tetap sadar adanya hak-hak konsumen yang terhitung "demand side" dari perekonomian, yakni masyarakat konsumen dan umum. Makin sadar akan hak dan kewajiban kedua pihak, "supply side" dan "demand side", maka semakin berbudaya kehidupan bangsa ini.

Sebagai bahan pembanding, yang pernah dijadikan referensi Lembaga Konsumen negeri ini, adalah hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak tersebut pertama kali disuarakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui "A special Message for the Protection of Consumer Interest" yang dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right". Dalam literatur umumnya disebut "empat hak dasar konsumen" (the four consumer basic rights).
Hak-hak dasar yang dideklarasikan meliputi:
1.Hak untuk mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety).
Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan produk dan jasa. Misalnya, makanan dan minuman yang dikonsumsi harus aman bagi kesehatan konsumen dan masyarakat umumnya. Produk makanan yang aman berarti produk tersebut memiliki standar kesehatan, gizi dan sanitasi serta tidak mengandung unsur yang dapat membayakan manusia baik dalam jangka pendek maupun panjang. Di AS hak ini merupakan hak pertama dan tertua serta paling tidak kontroversial karena hak ini didukung dan disetujui oleh kalangan bisnis dan konsumen atau yang dikenal sebagai pemangku kepentingan (stake holders).
2. Hak untuk memilih (the right to choose).
 Konsumen memiliki hak untuk mengakses dan memilih produk/jasa pada tingkat harga yang wajar. Konsumen tidak boleh ditekan atau dipaksa untuk melakukan pilihan tertentu yang akan merugikan dirinya. Jenis pasar yang dihadapi konsumen akan menentukan apakah konsumen bebas memilih atau tidak suka membeli produk atau jasa tertentu. Namun, dalam struktur pasar monopoli, konsumen dan masyarakat umum digiring berada dalam posisi yang lemah dengan resiko mengalami kerugian bila tidak memilih atau membeli produk dan jasa dari kaum monopolis.
3. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed)
. Konsumen dan masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi yang sejelas jelasnya tentang suatu produk/jasa yang dibeli atau dikonsumsi. Informasi ini diperlukan konsumen atau masyarakat, agar saat memutuskan membeli tidak terjebak dalam kondisi resiko yang buruk yang mungkin timbul. Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, misalnya efek samping dari mengkonsumsi suatu produk, dan adanya peringatan dalam label/kemasan produk.
4. Hak untuk didengarkan (right to be heard).
 Konsumen memiliki hak untuk didegarkan kebutuhan dan klaim, karena hak ini terkait dengan hak untuk memperoleh informasi.
Walaupun perlindungan konsumen sudah diatur oleh UUPK. Namun, masih ada saja pelaku pe-bisnis manufaktur, distribusi, dunia perbankan dan jasa lainnya acap kali tidak berorientasi pada konsumen dan atau membiarkan bawahan atau cabang atau penyalur mencari lubang ketidaktahuan konsumen tentang hak hak konsumen yang sengaja ditutupi tutupi demi memperoleh laba .
Tidak ada salahnya kalau secara periodik manajemen baik pucak maupun menengah bisnis yang merasa profesional belajar kembali ke serangkaian konsep dasar hak-hak konsumen sebelum mensosialiasikan pada masyarakat konsumen dengan "plan and program" terjadwal yang bukan bersifat "pameran omong kosong" dan cari nama saja. Inilah wujud saling menghargai pelaku "supply dan demand" (co-creation of values) dalam perekonomian.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai konsumen kita mempunyai wewenang untuk bertindak apapun tetapi tetap tidak di luar batasannya apabila kita mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan atau perlakuan yang tidak adil. Sebagimana di jelaskan dari pembahsan di atas .
vania080991.blogspot.com/2011/03/hak-hak-konsumen.html

sejarah hukum di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
entah dari kapan hokum di Indonesia itu di berlakukan , sebelum kita membahas masalah tersebut saya akan menjelaskan arti hokum itu sendiri. Arti Hukum itu sendiri adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan  dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
            Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi]], hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.         Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.         Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

b.         Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c.         Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.
Ø  pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
 1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,
Dan pembaharuan yang dilakukan adalah:
 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
2) Unifikasi kejaksaan;
3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2.         Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a.         Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b.         Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3.         Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.         Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman;
 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b.         Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.



4.         Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
 2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Hokum di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.
Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam hokum di atas
1.      Hokum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Dan salah satu contoh dari hokum perdata adalah masalah keluarga
macam-macam dari hokum perdata adalah hokum benda , hokum keluarga , hokum waris dan hokum lainnya.
2.      Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.atau Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan masyarakat
3.      Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana
4.      Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya .
5.      Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas.


Referensi :
images.flowst.multiply.multiplycontent.com/.../...

Selasa, 01 Mei 2012

perusahaan yang melaggar hukum etika dan moral


BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sebenarnya dalam suatu peru\sahaan harus terdapat etika dan normal karena hali ini menyangkut hak asasi manusia , dan apabila terdapat suatu perusahaan yang melanggar hal tersebut maka perusahaan tersebut akan di proses lebih lanjut. Sebenarnya apa si etika dan moral ? hal ini akan kita bahas di dalam pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Sedangkan  Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik
Di dalam suatu perusahaan juga di wajibkan mempunyai etika dan moral , berikut merupakan contoh suatu perusahaan yang melanggar etika dan moral
TPK Koja adalah terminal petikemas di tanjung priok yang dibangun dan dikelola oleh PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Humpuss Terminal Petikemas yang meliputi panjang dermaga 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard)-utilitas-dan jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer (RTG), 40 head truk dan 50 chasis.  Perjanjian kerjasama pembangunan dan pengeloaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994 yang kemudian diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja saat itu dibangun dengan kapasitas produksi (throughput) sebesar 1 juta TEUs per tahun. Dikarenakan krisis ekonomi tahun 1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 saham PT Humpuss Terminal Petikemas (selanjutnya disebut HTP) sebesar 100% dijual kepada Ocean Deep Invesment Holding Ltd.(59,6%) dan Ocean East Invesment Holding Ltd.(40,4%) yang berbadan Mauritius  dan selanjutnya HTP berubah nama menjadi PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum asing.  Pada tanggal 28 agustus 2000 berdirilah PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum Indonesia dan akhirnya berubah lagi menjadi PT Hutchison Port Indonesia (selanjutnya disebut PT HPI) pada tanggal 14 agustus 2007. PT HPI adalah anak perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong yang merupakan operator terminal dunia yang memiliki 70 pelabuhan di 24 negara. Hingga saat ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir 500 Milyar rupiah. Dengan kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk PT Pelindo II dan 47,88 untuk PT HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang profitable dan prospektif.
Namun dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik TPK Koja menyimpan 2(dua) permasalahan besar. Permasalahan itu adalah :
1. PERMASALAHAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Seperti diketahui TPK Koja hanya sebuah unit terminal petikemas yang dikelola bersama secara terpisah dari kedua perusahaan  induknya (Pelindo II dan HPI). Namun demikian apa yang dikelola TPK Koja merupakan kegiatan pokok dalan sebuah bisnis pelabuhan yaitu bongkar-muat dan receiving-delivery petikemas dimana dalam kesehariannya Manajemen KSO TPK Koja yang bertanggung jawab kepada  perusahaan induk atas segala pengelolaannya. Dan uniknya Manajemen KSO ini bisa merekrut dan mempekerjakan karyawan tetap. Menurut  pasal 64  UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  dinyatakan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2(dua) metoda yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja atau buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan hukum. Disinilah letak PELANGGARAN HUKUM KSO TPK Koja dari sisi ketenagakerjaan,yaitu :
Ÿ   KSO TPK Koja melakukan kegiatan pokok pelabuhan tetapi karyawan yang dipekerjakan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan induknya (PT Pelindo II atau PT HPI)
Ÿ  KSO TPK oja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum  tetap tetapi mempunyai karyawan tetap.
Pelanggaran Hukum di atas dapat diselesaikan dengan 2 alternatif :
Ÿ  KSO TPK Koja menjadi unit terminal petikemas yang keberadaannya merupakan salah satu unit usaha yang tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap ada pembagian keuntungan dengan PT HPI.
Ÿ  KSO TPK Koja ditingkatkan menjadi perusahaan patungan yang berbadan hukum tetap (join venture company) dimana karyawannya menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.
2. PERMASALAHAN HUKUM KORPORASI
Seperti dijelaskan sebelumnya KSO TPK Koja dikelola dengan model Kerja Sama Operasi antara PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, yaitu :
Ÿ  Status kepemilikan 100% saham asing setelah pengambilahan alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA  yang baru No. 25 tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan HPI di Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
Ÿ  Status Perjanjian Kerja Sama Operasi akibat pengambil alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa Pelindo II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT Hutchison Port Indonesia. Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari Humpuss Terminal Petikemas kepada PT HPI telah dilakukan transaksi dan korespondensi antara Pelindo II dan HPI. Hal ini terjadi karena belum diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai saat ini yang tercantum masih PT Pelindo II dan PT Humpuss Terminal Petikemas. Akibatnya pelaksanaan kerjasama saat ini cacat HUKUM dan menyebabkan ketidak-absahan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.
Ÿ  Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan Perjanjian Induk Kerjasama operasi,manajemen KSO dikepalai oleh General Manager yang membawahi 4(empat) deputy GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General Manager dan deputy GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum karena TPK Koja hanya sebuah badan bentukan dari Kitan Undang Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. ApalagI setelah perubahan ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah,kompensasi sewa rumah, uang pengganti BBM,asuransi jabatan,dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan atau insentif managemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir   1  MILYAR rupiah. Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa direksi Pelindo II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.
Dari 2 (dua) sisi tinjauan hukum di atas tampak jelas bahwa TPK Koja yang sudah beroperasi lebih dari sepuluh tahun sarat dengan permasalahan. Dan sudah saatnya karyawan TPK Koja melalui Serikat Pekerja TPK Koja harus menggugat kepada kedua pemilik yaitu PT(persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia  serta Pemerintah agar segera menuntaskan masalah tersebut dan menjadi kan TPK Koja sebagai  perusahaan berbadan hokum.

Terdapat beberapa Sanksi Pelanggaran Etika
1.        sanksi social
skala relative kecil, dipahami sebagai kesalahan yang dapat “dimaafkan”.
2.        sanksi hukum
skala besar, merugikan hak pihak lain. Hukum pidana menempati prioritas utama dan hiikuti hokum perdata.
Jadi misalnya kita akan membuat perusahhaan janganlah pernah melanggar etika dan moral juga jangan mengambil hak yang bukan milik kita seperti korupsi.


BAB III
PENUTUP
            Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil hikmahnya jika kita melanggar suatu hokum di Indonesia atau etika dan moral jugab hak yang bukan milik kita



Referensi: