BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Sebenarnya dalam suatu
peru\sahaan harus terdapat etika dan normal karena hali ini menyangkut hak
asasi manusia , dan apabila terdapat suatu perusahaan yang melanggar hal
tersebut maka perusahaan tersebut akan di proses lebih lanjut. Sebenarnya apa
si etika dan moral ? hal ini akan kita bahas di dalam pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.
Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha.
Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Sedangkan Istilah
Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang
sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’,
maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata
tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau
arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya
bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa
Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak
bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang tidak baik
Di dalam suatu perusahaan juga di wajibkan
mempunyai etika dan moral , berikut merupakan contoh suatu perusahaan yang
melanggar etika dan moral
TPK Koja
adalah terminal petikemas di tanjung priok yang dibangun dan dikelola oleh
PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Humpuss Terminal Petikemas yang
meliputi panjang dermaga 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard)-utilitas-dan
jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer
(RTG), 40 head truk dan 50 chasis. Perjanjian kerjasama pembangunan dan
pengeloaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam Perjanjian No. HK
566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994 yang kemudian diamandemen menjadi
Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK
Koja saat itu dibangun dengan kapasitas produksi (throughput) sebesar 1 juta
TEUs per tahun. Dikarenakan krisis ekonomi tahun 1998 yang disusul dengan
tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 saham PT Humpuss Terminal Petikemas
(selanjutnya disebut HTP) sebesar 100% dijual kepada Ocean Deep Invesment
Holding Ltd.(59,6%) dan Ocean East Invesment Holding Ltd.(40,4%) yang berbadan
Mauritius dan selanjutnya HTP berubah nama menjadi PT Ocean Terminal
Petikemas yang berbadan hukum asing. Pada tanggal 28 agustus 2000
berdirilah PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum Indonesia dan
akhirnya berubah lagi menjadi PT Hutchison Port Indonesia (selanjutnya disebut
PT HPI) pada tanggal 14 agustus 2007. PT HPI adalah anak perusahaan Hutchison
Port Holding yang berpusat di Hongkong yang merupakan operator terminal dunia
yang memiliki 70 pelabuhan di 24 negara. Hingga saat ini TPK Koja telah
beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai pada tahun
2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir 500 Milyar
rupiah. Dengan kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk PT Pelindo II dan 47,88
untuk PT HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang profitable dan prospektif.
Namun
dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik TPK Koja menyimpan 2(dua)
permasalahan besar. Permasalahan itu adalah :
1.
PERMASALAHAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Seperti
diketahui TPK Koja hanya sebuah unit terminal petikemas yang dikelola bersama
secara terpisah dari kedua perusahaan induknya (Pelindo II dan HPI).
Namun demikian apa yang dikelola TPK Koja merupakan kegiatan pokok dalan sebuah
bisnis pelabuhan yaitu bongkar-muat dan receiving-delivery petikemas dimana
dalam kesehariannya Manajemen KSO TPK Koja yang bertanggung jawab kepada
perusahaan induk atas segala pengelolaannya. Dan uniknya Manajemen KSO ini bisa
merekrut dan mempekerjakan karyawan tetap. Menurut pasal 64 UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa penyerahan
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2(dua)
metoda yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja
atau buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan
pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya
harus berbadan hukum. Disinilah letak PELANGGARAN HUKUM KSO TPK Koja dari sisi
ketenagakerjaan,yaitu :
KSO TPK Koja melakukan
kegiatan pokok pelabuhan tetapi karyawan yang dipekerjakan bukan merupakan
karyawan tetap perusahaan induknya (PT Pelindo II atau PT HPI)
KSO TPK oja bukan perusahaan
yang berdiri sendiri, bukan perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan
berbadan hukum tetap tetapi mempunyai karyawan tetap.
Pelanggaran Hukum di atas dapat
diselesaikan dengan 2 alternatif :
KSO TPK Koja menjadi unit
terminal petikemas yang keberadaannya merupakan salah satu unit usaha yang
tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II
dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap ada
pembagian keuntungan dengan PT HPI.
KSO TPK Koja ditingkatkan
menjadi perusahaan patungan yang berbadan hukum tetap (join venture company)
dimana karyawannya menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.
2.
PERMASALAHAN HUKUM KORPORASI
Seperti
dijelaskan sebelumnya KSO TPK Koja dikelola dengan model Kerja Sama Operasi
antara PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, yaitu :
Status kepemilikan 100%
saham asing setelah pengambilahan alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT
Hutchison Port Indonesia. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83
tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan,
PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA yang
baru No. 25 tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh
mengusai maksimal saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut
keberadaan HPI di Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
Status Perjanjian Kerja Sama
Operasi akibat pengambil alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison
Port Indonesia. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan
bahwa Pelindo II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas
dengan PT Hutchison Port Indonesia. Padahal sejak dilakukan penjualan saham
dari Humpuss Terminal Petikemas kepada PT HPI telah dilakukan transaksi dan
korespondensi antara Pelindo II dan HPI. Hal ini terjadi karena belum diubahnya
salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai saat ini
yang tercantum masih PT Pelindo II dan PT Humpuss Terminal Petikemas. Akibatnya
pelaksanaan kerjasama saat ini cacat HUKUM dan menyebabkan ketidak-absahan
seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.
Perubahan Nomenklatur
Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan Perjanjian Induk Kerjasama
operasi,manajemen KSO dikepalai oleh General Manager yang membawahi 4(empat)
deputy GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General Manager dan deputy GM
diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan ini tidak dapat
dibenarkan secara hukum karena TPK Koja hanya sebuah badan bentukan dari Kitan
Undang Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata biasa yang tidak tunduk
pada UU Perseroan Terbatas. ApalagI setelah perubahan ini para pemangku jabatan
kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi perusahaan perseroan
terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji besar dan berbagai
benefit seperti mobil mewah,kompensasi sewa rumah, uang pengganti BBM,asuransi
jabatan,dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan atau insentif
managemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja dalam satu
tahunnya bisa berpenghasilan hampir 1 MILYAR rupiah.
Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut
diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa
direksi Pelindo II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.
Dari 2
(dua) sisi tinjauan hukum di atas tampak jelas bahwa TPK Koja yang sudah
beroperasi lebih dari sepuluh tahun sarat dengan permasalahan. Dan sudah
saatnya karyawan TPK Koja melalui Serikat Pekerja TPK Koja harus menggugat
kepada kedua pemilik yaitu PT(persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison
Port Indonesia serta Pemerintah agar segera menuntaskan masalah tersebut
dan menjadi kan TPK Koja sebagai perusahaan berbadan hokum.
Terdapat
beberapa Sanksi Pelanggaran Etika
1.
sanksi social
skala relative kecil, dipahami sebagai kesalahan yang dapat “dimaafkan”.
skala relative kecil, dipahami sebagai kesalahan yang dapat “dimaafkan”.
2.
sanksi hukum
skala besar, merugikan hak pihak lain. Hukum pidana menempati prioritas utama dan hiikuti hokum perdata.
skala besar, merugikan hak pihak lain. Hukum pidana menempati prioritas utama dan hiikuti hokum perdata.
Jadi misalnya kita akan
membuat perusahhaan janganlah pernah melanggar etika dan moral juga jangan
mengambil hak yang bukan milik kita seperti korupsi.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil hikmahnya
jika kita melanggar suatu hokum di Indonesia atau etika dan moral jugab hak
yang bukan milik kita
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar