BAB I
PENDAHULUAN
Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan
halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia,
betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun
duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang
berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah
melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan
untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap
tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang
pengikutnya disebut "musyrik".
BAB II
PEMBAHASAN
Sebenarnya siapa sii , yang boleh menentukan masalah halal
atau haram.Dalam pembahasan kali ini kita akan membahasnya agar kita
mengetahuinya
Menurut ajaran agama Islam, batas
antara yang halal dan haram sudah dijelaskan panjang lebar baik itu dalam kitab
suci Al-Qur'an maupun Al-Hadist. Jangankan yang haram, sesuatu yang samar
(tidak jelas halal atau haramnya) pun diperintahkan untuk dihindari. Lalu
siapakah yang lebih pantas untuk menentukan halal dan haramnya suatu perbuatan
atau benda?
Dulu kita pernah dikejutkan dengan
keluarnya fatwa MUI tentang haramnya rokok
Lalu keluar fatwa haram tentang tayangan infotainment, yang
senang mengumbar keburukan atau aib seorang artis ketimbang kebaikannya.
Terlebih bila melihat gaya pembawa acaranya ketika menyajikan berita atau gosip
tersebut.
Menyindir dan mengungkit-ungkit dan
yang paling terbaru saat ini adalah wacana MUI untuk mengeluarkan fatwa haram
tentang penggunaan BBM bersubsidi.
Dari sedikit contoh hal-hal yang diperdebatkan tentang halal
atau tidaknya diatas, pertanyaannya siapa yang lebih pantas menilai bahwa itu
halal atau haram? Masalah infotainment yang suka menggosip itu jelas,
membicarakan kejelekan orang lain (apalagi di hadapan umum) sangat tidak
pantas.
Dalam hal ini terdapat dalil (dasar
perintahnya) bahwa kita diperintahkan oleh Rasul untuk menghindari
"ghibah" (menggunjing). Bagaimana dengan rokok, lalu terlebih lagi
bagaimana dengan penggunaan BBM bersubsidi bagi kalangan mampu? Dasar hukum
tentang merokok setahu saya tidak ada baik itu didalam Al-Qur'an maupun
Al-Hadist.
Hanya saja
ada suatu dalil yang kita diperintahkan untuk tidak menjerumuskan diri sendiri
ke dalam kehancuran atau kebinasaan. Istilahnya kita tidak boleh menyiksa diri
kita sendiri sehingga kita sengsara bahkan sampai sakit atau mati. Itu sama
saja dengan bunuh diri bukan? Apa hukumannya bagi orang yang bunuh diri? Tentu
saja merupakan ahli neraka. Merokok merupakan hal yang samar (tidak jelas
hukumnya, halal atau tidak) yang kita disarankan untuk menjauhinya. Terakhir
adalah penggunaan BBM bersubsidi bagi kalangan orang mampu. Apakah ini halal,
atau haram?
Islam merupakan agama yang ribet atau kolot,
tentu saja tidak! Islam sangat fleksibel, dinamis mengikuti perkembangan jaman.
Yang berhak menentukan sesuatu itu halal maupun haram hanyalah Allah. Baik itu
disebutkan dalam kitab suci maupun tidak.
Maka dari itu Allah memberikan
manusia akal dan pikiran, hati nurani untuk senantiasa berpikir, merenung,
apakah sesuatu itu patut untuk dilabeli haram atau halal. Itulah hati nurani,
perwujudan secara tidak langsung dari Yang Kuasa, anugerah Illahi. Maka dari
itu, untuk menyikapi berbagai hal yang ada di sekitar kita, baik itu halal atau
haram, baik atau buruk, hati nurani kita sendiri yang menentukan (bila tidak
jelas dasar hukumnya dalam agama).
Seperti tadi, masalah rokok atau pun
tayangan infotainment di televisi, percuma bila MUI mengeluarkan fatwa bila
umatnya sendiri tetap melakukannya. Kembali ke hati nurani masing-masing dengan
berpedoman pada ajaran ilmu agama tentunya. Terlebih masalah penggunaan BBM
bersubsidi bagi kalangan mampu yang dinilai haram oleh MUI.
Jadi sebenarnya yang menentukan
halal atau haram adalah hanya ALLAH SWT seperti yang tercantum pada al-quran
atau hadits. Di sini MUI hanya merupakan suatu lembaga yang mengumumkan hal
tersebut atau tidak. Tapi yang pasti kita hanya harus mengikuti jalan yang
bdilarang atau tidak.
BAB III
PEUNUTUP
Jadi disini
yang berhak menentukan halal atau tidak
hanya ALLAH SWT.
MUI hanya suatu lembaga saja yang menentukan halal suatu
produk.
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/102.html
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1434
Tidak ada komentar:
Posting Komentar